
Rumah bersubsidi (Foto: Rinaldi)
JAKARTA – Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) menyambut baik rencana kehadiran Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3). Namun asosiasi ini masih mempertanyakan efektivitas BP3 untuk mengatasi backlog perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Ketua Umum DPP REI Paulus Totok Lusida menegaskan efektif atau tidaknya badan baru tersebut masih perlu dilihat dan diuji dari kemampuannya menerobos berbagai hambatan dalam penyediaan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
“Selama ini hambatan dalam program pembangunan perumahan bagi MBR adalah regulasi dan birokrasi perizinan. Kalau hambatan itu dapat diatasi dengan BP3, tentu saja badan ini menjadi solusi. Tapi sebaliknya, jika justru menambah pintu perizinan dan regulasi kami kira kontra-produktif dengan semangat UUCK,” ungkap Totok Lusida kepada Industriproperti.com, baru-baru ini.
Oleh karena itu, agar BP3 dapat implementatif di lapangan, maka REI dan asosisasi lain perlu dilibatkan dalam pembahasan BP3, karena perspektif pelaku usaha properti juga diperlukan untuk pembuatan regulasi.

Paulus Totok Lusida
Apalagi BP3 nantinya banyak bersinggungan dengan aktivitas bisnis pengembang. Jangan sampai, kata Totok, birokrasi justru masuk ke ruang gelap atau lebih parah lagi bisa tersesat di ruang yang terang.
“Niat kita semua sama, yakni menuntaskan angka backlog perumahan yang masih tinggi ini. Kalau asosiasi dilibatkan di dalam BP3 ini, maka kami yakin akselerasinya pasti bisa lebih cepat,” ujar pengusaha properti asal Jawa Timur itu.
Di dalam UUCK disebutkan bahwa badan ini mempunyai fungsi mempercepat penyelenggaraan Perumahan dan kawasan permukiman. Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud, maka BP3 salah satunya diberi kewenangan melaksanakan pengelolaan dana konversi dan pembangunan Rumah Sederhana serta Rumah Susun Umum.
Fungsi ini tentu menimbulkan kekhawatiran baru bagi publik terutama pelaku usaha properti. REI misalnya meminta ketentuan terkait dana konversi hunian berimbang ini dipertimbangkan kembali di dalam aturan turunan UUCK.
Namun Ranperpres BP3 justru mempertegas kalau hunian berimbang yang tidak dapat dibangun dalam bentuk rumah tunggal atau rumah deret dapat dikonversikan ke dua hal.
Pertama, rumah sederhana dapat dikonversi menjadi rumah susun umum yang dibangun dalam satu hamparan yang sama. Kedua, dapat juga dikonversikan dalam bentuk dana untuk pembangunan rumah umum yang dikelola oleh BP3.
Namun, menurut Totok, pembangunan rumah sederhana dalam konteks hunian berimbang bisa terwujud jika ada lahan yang disiapkan oleh pemerintah. Hal itu disebabkan saat ini sulit sekali untuk mendapatkan lahan yang murah untuk lokasi pembangunan rumah bagi MBR, terlebih di lokasi yang berdekatan dengan perumahan komersial.
“Kalau pemerintah tidak dapat menyediakan lahan dan pengembang harus membayar dana konversi hunian berimbang dengan harga tinggi maka itu sangat memberatkan bagi pengembang, bahkan rugi. Yang pada akhirnya nanti beban tersebut akan didistribusikan kepada konsumen akhir. Nah, kalau pembeli sulit menjangkau harga rumah, maka investasi sulit berjalan,” papar Totok.
Selain meminta agar harga konversi dana tersebut dapat dipertimbangkan kembali, REI juga mengharapkan penerapan dana konversi tidak diberlakukan surut dan hanya diberlakukan untuk pengembangan proyek properti baru. Selain itu, dana konversi kiranya juga mempertimbangkan kelayakan ekonomi sehingga tidak menambah beban high cost economy di sektor properti.
Di Pasal 1 Ranperpres BP3 disebutkan bahwa badan ini merupakan lembaga non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri, dan menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum.
Tujuan BP3 adalah untuk mempercepat penyediaan Rumah Umum; menjamin bahwa Rumah Umum hanya dimiliki dan dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah; menjamin tercapainya asas manfaat Rumah Umum; dan melaksanakan berbagai kebijakan di bidang Rumah Umum dan Rumah Khusus. (MRI)