
Ilustrasi Pekerja Informal (Foto: Adang Sumarna)
Jakarta – Bank Dunia dalam laporannya bertajuk “Indonesia Public Expenditure Review 2020: Spending For Better Results” mengevaluasi program pembiayaan perumahan di Indonesia. Dalam laporan tersebut, Bank Dunia menyebut bahwa program pembiayaan perumahan yang digunakan untuk memenuhi target kepemilikan rumah dan hunian tidak efisien. Pasalnya, subsidi yang digunakan mahal dalam hal biaya fiskal dimuka dan hutang di masa depan. Selain itu, baik skema FLPP maupun SSB hanya menguntungkan bank dan pengembang daripada konsumen Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), sehingga membuat hengkangnya sektor swasta.
Bank Dunia, masih dalam laporan tersebut, juga merekomendasikan untuk mengalihkan dana ke subsidi yang lebih efisien, progresif, dan lebih tepat sasaran, sambil mengoptimalkan program-program subsidi saat ini untuk meningkatkan efisiensi dan kesetaraan.
Adapun program pembiayaan perumahan yang dianggap lebih efisien oleh Bank Dunia adalah program Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT). Hal ini karena BP2BT berlawanan dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan Subsidi Selisih Bunga (SSB). Sebab program besutan Bank Dunia ini hanya menyediakan bantuan uang muka satu kali untuk MBR, sehingga mengurangi kewajiban ekonomi di masa depan dan biaya administrasi jangka panjang.
Dalam catatan redaksi industriproperti.com, desain program BP2BT memang berbeda dengan program FLPP maupun SSB. Dalam program SSB, Pemerintah memberikan subsidi selisih antara bunga pasar dengan bunga yang dapat ditanggung oleh konsumen MBR, sehingga selama masa tenor cicilan, konsumen hanya dikenakan bunga flat sebesar 5 persen. Sedangkan program FLPP, Pemerintah memberikan dana dengan persyaratan lunak kepada pemberi pinjaman yang memberikan kredit pemilikan rumah (KPR) dengan suku bunga tetap kepada konsumen sebesar 5 persen per tahun selama 20 tahun. Likuiditas hampir sebesar 75 persen didanai oleh Pemerintah Indonesia dan sisanya oleh perbankan.
Namun demikian, realisasi program ini juga dinilai gagal. Hal ini diutarakan oleh Direktur Jendral Perumahan Khalawi Abdul Hamid saat Kick Off Meeting Pelaksanaan BP2BT Tahun 2021, di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Kamis, 28 Januari 2021. “Saya merasa gagal menyalurkan Program BP2BT karena pencairannya hanya 8,8 persen. Selama dua tahun program ini tidak berjalan optimal. Padahal kita sudah memberi sejumlah relaksasi. Misalnya, ketentuan lama waktu menabung dari semula minimal enam bulan telah dipangkas hanya tiga bulan,” kata Khalawi.
“Sudah susah payah dicarikan pinjaman, tapi tidak terserap. Kritik itu disampaikan Pak Menteri PUPR (Basuki Hadimoeljono) kepada saya. Hal ini tentu harus menjadi pemicu bagi kita semua untuk sama-sama mendorong suksesnya program BP2BT,” lanjut Khalawi.
Adapun dari total alokasi anggaran, total pinjaman Bank Dunia ini sebesar USD 205 juta atau setara Rp 2,7 triliun. Namun, dalam dua tahun terakhir hanya tersalurkan USD 18,1 juta atau setara Rp 238,4 miliar (sekitar 6.534 unit rumah bersubsidi).
Dihubungi secara khusus, Ketua Umum The Housing and Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto menyatakan bahwa kajian desain program BP2BT tidak komprehensif. “Desain programnya tidak memahami seluk beluk perumahan rakyat dan karakteristik MBR formal maupun informal,” tegas Zulfi kepada redaksi industriproperti.com.
Menurut Zulfi, persyaratan yang ditetapkan dalam program BP2BT luar biasa ketat. “Meski iming – iming subsidinya besar, tapi MBR diminta untuk menabung, ini sangat sulit untuk pekerja informal. Apalagi bunganya juga bunga pasar,” ujar Begawan Perumahan Rakyat tersebut.
The HUD Institute menawarkan program pembiayaan perumahan berbasis data permintaan/ konsumen yang valid dan etnografi. Sehingga, lanjut Zulfi, baiknya pemerintah memetakannya dengan baik dan selalu update. “Konstruksi rumah untuk orang Padang dan orang Tegal itu berbeda, sehingga desain program juga tidak bisa sama,” pungkas Zulfi. (ADH & BRN)